Mertua Judes dan Cerewet? Taklukan dengan 11 Langkah Jitu Ini!

 

Tujuan utama dari seseorang saat memutuskan untuk menikah dan berumah tangga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Perasaan damai, tenteram, dalam nuansa penuh kasih sayang, menjadi sesuatu yang diharapkan. Namun, alih-alih merasakan hal tersebut, ada sebagian di antara kita justru merasa bahwa rumah tangga justru menjadi neraka dunia. Cintya (bukan nama sebenarnya), misalnya. Perempuan yang baru setahun berumah tangga ini merasa sebal bukan main. Pasalnya apa lagi jika bukan persoalan mertua?

“Mertua saya selalu mengatur saya. Selalu mengatakan bahwa saya tidak becus mengurus anaknya. Wajar sih, suami saya memang anak emas baginya. Mama mertua sangat memanjakannya. Jadi, meski sudah menikah, Mama mertua merasa bahwa dia lebih berhak mengatur-atur dan melayani anaknya sebagaimana saat belum menikah,” keluh Cintya. Walhasil, Cintya dan mertua akhirnya terlibat perang dingin.

Pernahkah Anda berkonflik dengan mertua sebagaimana apa yang terjadi pada Cintya?
Konflik antara menantu dengan mertua, sebenarnya permasalahan yang sering terjadi, khususnya pada pasangan muda yang baru saja beradaptasi. Konflik tak selalu negatif, bahkan menurut psikolog Elizabeth Dorrance Hall Ph.D,  sebagaimana dilansir dari psychologytoday.com (23/3/2017), konflik merupakan sesuatu yang sehat dalam sebuah relationship. Ada beberapa alasan yang dikemukan Elizabeth Dorrance Hall, di antaranya, konflik menunjukkan sinyal kebutuhan akan perubahan di kedua belah pihak. Kemudian, adanya konflik menunjukan bahwa kita dan orang yang berkonflik itu sebenarnya saling membutuhkan.

Begitu juga konflik dengan mertua. Adanya konflik menunjukan bahwa kita dan mertua memang sama-sama saling membutuhkan dan butuh bernegosiasi agar ada perubahan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Sementara, ketiadaan konflik, bisa jadi justru disebabkan karena kita cuek, masa bodoh, tak mau peduli, atau tak mau tahu. Perasaan-perasaan semacam itu, membuat kita sering merasa tak perlu untuk saling bernegosiasi, dan hal tersebut sejatinya tidak sehat untuk sebuah relationships.

Mengapa begitu? Setiadi dan Kolip (2011), dalam buku Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (diterbitkan oleh  Kencana Prenada Media Group, 2011) menyebutkan bahwa konflik berasal dari kata con (bersama) dan fligere (benturan/tabrakan). Jadi, konflik artinya pertikaian atau pertentangan yang melibatkan dua atau lebih individu atau kelompok. Sangat jelas, munculnya konflik adalah karena adanya interaksi. Benturan terjadi karena adanya perbedaan keinginan atau tujuan. Namun, dengan kesadaran dan kedewasaan penuh, konflik sebenarnya bisa dikelola dan diatasi.

Jadi, jika memang kita ditakdirkan memiliki mertua yang berkarakter judes dan cerewet, jangan takut terlebih dahulu. Kita bisa mencoba melakukan 11 langkah tersebut di bawah ini agar konflik bisa mereda dan terselesaikan.

1. Pahami latar belakang konflik dengan baik. Yaitu dengan mencoba melihat bagaimana situasi dan kondisi yang terjadi sebelum munculnya konflik. Mungkin bagi mertua, suami kita adalah anak kebanggaan yang dibesarkan dengan penuh perjuangan dan kasih sayang. Mungkin mertua kita memiliki standard tertentu, dan ternyata kita mengabaikan standard tersebut. Sebagai contoh, misal sebagai anak, suami terbiasa mendapatkan makan tepat waktu dengan masakan yang lezat dan komposisi gizi yang pas. Namun, setelah menikah dengan kita, gizi suami kita tersebut terabaikan. Layak saja mertua kita merasa marah.

2. Renungkan jika hal nomor satu tersebut terjadi pada anak kita. Kita mengandung dan melahirkan anak kita, menyayangi dengan sepenuh hati dan memiliki rutinitas tertentu dalam mengekspresikan kasih sayang tersebut. Lalu, ketika anak kita menikah dengan seorang gadis, kita melihat gadis tersebut mengabaikan suaminya dengan semena-mena. Bagaimana perasaan kita? Tentu kita juga merasa tidak nyaman dengan sikap menantu kita tersebut, bukan?

3. Pahami adat-istiadat dan bagaimana cara mertua kita mendidik anaknya—alias suami kita. Lalu, berinisiatiflah untuk melakukan pendekatan sesuai dengan kebiasaan mereka. Tentu kita tak perlu meng-copy paste kebiasaan mereka seratus persen, sebab kita juga memiliki keunikan dan prinsip-prinsip yang khas dan kita yakini kebenarannya.

4. Lakukan negosiasi atas hal-hal yang berbeda dengan sikap yang asertif, yaitu sikap yang menurut www.prezi.com (20/3/2011), menjadi titik tengah atas sikap submisif (pasif, menerima begitu saja, menyembunyikan perasaan hati meski sebenarnya tidak berkenan dan cenderung menyakiti diri sendiri), dan sifat agresif (melawan dengan aktif, keras, jujur apa adanya dan cenderung menyakiti hati lawan). Asertif adalah mengatakan dengan jelas, tegas, namun dengan cara yang baik. Misal, suatu ketika mertua kita mengatakan bahwa kita dan suami harus tinggal di rumahnya karena mertua khawatir dengan keberadaan suami. Maka kita bisa mengatakan bahwa suami Anda adalah pemimpin dalam rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Suami harus dilepas agar bisa hidup mandiri dan mampu tumbuh sebagai sosok yang kuat dan kokoh.

5. Nah, namanya negosiasi, pasti harus ada titik tengah. Ketika kita tidak bisa meyakinkan mertua bahwa suami sebaiknya tinggal bersama kita di rumah kontrakan, kita tidak boleh memaksakan kehendak dan ngambek. Kita bisa menurut kepada mertua, dengan syarat yang kita ungkapkan dengan sikap asertif, bahwa mertua harus pula mengubah sikap dengan tidak terlalu memanjakan suami.

6. Mungkin mertua akan marah dengan syarat yang kita minta. Tetapi, justru disinilah bisa diuji kemampuan kita dalam bernegosiasi dan berkomunikasi. Kita justru harus sering-sering mengungkapkan hal tersebut kepada ibu mertua, tentu saja dengan cara yang baik dan menjaga kesopanan.

7. Dalam waktu-waktu tertentu, kita bisa bertanya kepada mertua, apa-apa saja sikap kita yang dianggap salah, dan apa-apa saja yang harus diperbaiki, khususnya dalam berinteraksi dengan suami dan keluarganya.

8. Jangan ragu untuk meminta maaf jika setelah kita renungkan, ternyata kita memang memiliki kesalahan kepada mertua kita dan juga suami kita yang merupakan anak kesayangannya.

9. Berusahalah untuk mencintai mertua kita sebagaimana ibu kandung kita sendiri. Sebab, setelah menikah, sejatinya ibu mertua pun merupakan orang tua kita. Berilah kejutan-kejutan yang menyenangkan, misalnya hadiah di hari spesialnya.

10. Berdiskusilah kepada suami jika kita merasa tidak cukup keberanian dan kemampuan untuk berhadapan face to face dengan mertua kita. Mintalah bantuan agar suami bersikap tegas dan memberikan pengertian kepada ibunya bahwa saat ini, posisi dia sudah bukan sekadar anak mama, tetapi juga telah menjadi seorang kepala keluarga.

11. Teruslah berdoa kepada Yang Maha Kuasa dengan menyebut nama ibu mertua, agar Sang Pencipta membuka pintu hati ibu mertua dan melahirkan kasih sayang dan kelembutan saat berinteraksi dengan kita dan orang-orang di sekitar kita. Doa adalah senjata orang yang dekat dengan-Nya, jadi, jangan pernah tinggalkan.

Itulah 11 cara untuk bisa “menaklukan” ibu mertua yang judes dan cerewet. Selamat mencoba!

Subscribe to receive free email updates: