Perempuan Inspiratif Pewarna Zaman

Dalia Mogahed, muslimah berkarir sukses di USA

Memberi manfaat secara luas di masyarakat tidak hanya milik laki-laki, yang dianggap lebih fleksibel, kuat, dan cerdas dengan dominasi kelogisan yang dimilikinya. Setiap hamba, lahir dengan potensi tanpa perlu melihat gender, laki-laki atau perempuan. Bahkan hijab bagi muslimah, bukan halangan untuk menyebarkan manfaat seluas-luasnya.

Disebutkan dalam beberapa kajian bahwa perempuan dan anak-anak masih tergolong kelompok rentan yang sering mengalami berbagai masalah, seperti kemiskinan, bencana alam, konflik, kekerasan, dsb. Kaum perempuan dianggap lemah, punya banyak keterbatasan, dan dinilai hanya mampu melaksanakan pekerjaan domestik yang berkaitan dengan urusan rumah tangga.

Jika ditilik kembali, justru banyak sektor dan peran yang secara optimal bisa diperankan oleh perempuan, seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Kita pun bisa menilik perempuan-perempuan inspiratif dari dalam maupun luar negeri bahkan dari masa lalu sekalipun. 

Di salah satu negeri yang subur dengan Islamophobia, yakni Amerika Serikat, justru hadir sosok perempuan inspiratif yang mampu menampilkan wajah Islam sesungguhnya. Ia adalah Dalia Mogahed, seorang muslimah keturunan Mesir yang kemudian pindah dan menetap di Amerika Serikat sejak usia 4 tahun. Ia menjadi wanita berhijab pertama yang bekerja di Gedung Putih selama pemerintahan Barack Obama.

Dalia Mogahed merupakan sosok yang brilian, ia menerima gelar sarjana di bidang teknik kimia dari University of Wisconsin. Setelah lulus, Dalia Mogahed bergabung dengan perusahaan multi nasional sebagai peneliti produk pemasaran. Ia kemudian menerima gelar MBA dari Sekolah Pascasarjana Bisnis Joseph M. Katz di University of Pittsburgh.

Sebelum akhirnya terpilih sebagai salah satu penasihat di Gedung Putih, Dalia Mogahed menjabat sebagai Direktur Penelitian di Institut Kebijakan Sosial dan Pemahaman (ISPU), sebuah organisasi penelitian Muslim yang berbasis di Washington DC dan Dearborn.

Sebelum ISPU, Dalia Mogahed menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Muslim Gallup dari 2006 hingga 2012. Pusat studi itu yang melakukan penelitian dan statistik tentang Muslim di seluruh dunia.

Pada 2009, ia menjadi wanita berhijab pertama di Gedung Putih, ketika ia ditunjuk untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan Presiden Barack Obama. Pada awal April 2009, Obama menandatangani perintah eksekutif untuk mendirikan sebuah badan baru di Gedung Putih yang disebut Kantor Kemitraan Agama untuk mendukung lembaga-lembaga keagamaan dan memperkuat dialog antaragama dan ikatan pemerintah.

Dalia Mogahed menjadi bagian dari pemerintahan ini dan menerima tugas yang tampaknya mustahil, yaitu untuk meningkatkan persepsi Amerika Serikat terhadap Muslim. Pada akhir masa jabatannya, ia memiliki kesempatan untuk merumuskan rekomendasi tentang penjangkauan Muslim dalam laporan penasihat kepada Presiden. 

Saat menjabat sebagai penasihat, Dalia Mogahed tetap mempertahankan pekerjaan penuh waktunya sebagai kepala Pusat Studi Muslim Gallup. Setelah menjadi penasihat, ia masih menjabat sebagai direktur di ISPU. Pada 2016, Dalia Mogahed berbicara di forum TED. Ia berbicara mengenai “Apa yang kamu pikirkan ketika melihat saya?” 

TED yang merupakan kepanjangan dari Technology, Entertainment and Design, merupakan sebuah konferensi global yang menyediakan video-video bebas akses secara online. Video-video TED pada umumya mengangkat berbagai topik terutama teknologi, kemanusiaan, dan lain sebagainya yang bisa membawa pandangan baru bagi masyarakat luas. Dengan slogan “Ideas worth spreading” yang artinya ide – ide patut disebarkan, TED pernah menghadirkan orang-orang terkenal sebagai pembicara mereka seperti Bill Clinton, Al Gore, Bill Gates, Richard Dawkins, Larry Page dan Sergey Brin. TED memberikan video-video pembicaraan untuk bebas diakses di Youtube ataupun di situs mereka sendiri.

Dalia Mogahed adalah contoh muslimah yang bersinar dengan perannya. Ia memilih untuk mengoptimalkan segala potensi yang diberikan oleh Allah Swt kepadanya. Seorang muslimah yang terus mencari hakikat hidup dengan memberi manfaat secara luas. 

Kita bisa memulai dari mencari kegelisahan di hati, seperti yang dilakukan Kartini, salah satu perempuan yang dikenang sepanjang masa oleh seluruh rakyat Indonesia. Kartini yang gelisah tentang kesetaraan dan pendidikan bagi perempuan.

Awalnya Kartini sangat tertarik dengan ide-ide feminisme (red. emansipasi). Kartini pun sering bertukar surat dengan Stella Zehandelaar, seorang feminis dari Belanda, yang menguatkan ketertarikannya pada emansipasi. Stella banyak bercerita mengenai mengenai perjuangan wanita di Eropa, membuat Kartini makin kagum dan menginginkan hal tersebut terjadi di Jawa khususnya di Jepara.

Sayangnya saat Kartini silau dengan emansipasi, banyak Feminis di negeri ini pintar sekali memanfaatkan surat-surat Kartini kemudian kisahnya tidak utuh diceritakan dengan sengaja, hanya sampai pada emansipasi saja padahal kisah Kartini masih di tahap koma, belum sampai akhir cerita.

Proses pencarian jawaban atas kegelisahan Kartini terus berlanjut. Hijrahnya Kartini berawal dari kegelisahannya. Ia gelisah dengan tidak adanya terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa. Kartini sangat penasaran dengan makna di setiap huruf Al-Quran. Sampai suatu ketika, Kartono kakak kesayangannya, mengenalkannya pada sesosok ulama alumni Mekkah. Ia adalah Kyai Soleh Darat, yang juga guru dari Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan. Ketika Kyai Soleh Darat menyampaikan tafsir salah satu surat dalam Al-Quran, seketika hati Kartini tersentuh.

Setelah mengaji pada Kyai, Kartini menyadari dan memahami tugas perempuan ialah menjadi Madrasah pertama untuk anaknya. “Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuaannya anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibulah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diminum bersama air susu ibu dan bagaimana sekarang ibu-ibu Jawa dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak dididik? Peradaban dan kecerdasan bangsa Jawa dalam hal itu terbelakang, tidak mempunyai tugas.” (Sulastin Sutrisno, Surat-surat Kartini dari dan untuk Bangsanya).

Tidak ada peran yang kecil. Semua hanya perlu bermuara pada ridha-Nya. Apa yang kita tanam, itu juga yang akan kita tuai. Maka jangan pernah berhenti mencari peran, karena kita tidak pernah tahu peran mana yang akan memberatkan timbangan amal kita nanti. []

Penulis: Anisah Sholichah


Subscribe to receive free email updates: